Luluk Wulandari

Saya

image
Assalamu'alaikum,

Harmoni selalu bangsaku

Nama saya Luluk Wulandari. Kegiatan sehari-hari saya adalah mengajar Ilmu Sosiologi di sekolah menengah atas. Saya suka melakukan penelitian tematik sosial dalam rangka untuk menyiapkan bahan belajar untuk siswa saya.

Selain mengajar, saya juga menjadi pegiat batik motif Pekalongan. Melalui ruang kreatif batik ini, saya cukup senang karena kajian sosiologi dapat saya kembangkan diperbatikan.


Pendidikan
Universitas Negeri Semarang

S1 Pendidikan Sosiologi

Universitas Negeri Semarang

S2 Pendidikan IPS

Universitas Negeri Semarang

Persiapan S3 Pendidikan IPS


Pengalaman
Guru Sosiologi

SMA Negeri

Ketua Umum

MGMP Sosiologi Jateng

Batik Parikesit

Desainer dan Pemilik


Kemampuan Saya
Mengajar
Desain Batik
Pegiat Komunitas
Penulis Buku Lepas

764

Awards Won

1664

Happy Customers

2964

Projects Done

1564

Photos Made

WHAT CAN I DO

Web Design

Fusce quis volutpat porta, ut tincidunt eros est nec diam erat quis volutpat porta

Responsive Design

Fusce quis volutpat porta, ut tincidunt eros est nec diam erat quis volutpat porta

Graphic Design

Fusce quis volutpat porta, ut tincidunt eros est nec diam erat quis volutpat porta

Clean Code

Fusce quis volutpat porta, ut tincidunt eros est nec diam erat quis volutpat porta

Photographic

Fusce quis volutpat porta, ut tincidunt eros est nec diam erat quis volutpat porta

Unlimited Support

Fusce quis volutpat porta, ut tincidunt eros est nec diam erat quis volutpat porta

SOME OF WORK

Sekali Mendayung, Tiga Macam Literasi Terlampaui


Pada suatu hari ada seorang ibu yang mendatangi Gandhi (Mahatma Gandhi), dia mengeluhkan anaknya susah dinasehati untuk tidak makan garam, anak ibu tersebut suka makan garam saja. Lalu Gandhi bilang, kembali ke sini dua minggu lagi. setelah dua minggu, ibu itu kembali menemui Gandhi, di depan anak kecil dan si ibu Gandhi berkata "Jangan makan garam ya". Ajaib, anak tersebut berhenti dari kebiasaannya makan garam. penasaran ibu itu bertanya "Gandhi, bagaimana caranya, anak itu menuruti nasehatmu, luar biasa Gandhi" apa jawaban Gandhi? "Selama dua minggu itu aku tidak makan garam". Kesimpulannya  kita akan didengarkan ketika kita sendiri melakukan. Mengajak  siswa untuk membaca,  wahai guru, berapa lembar buku yang sudah kita baca hari ini?


Lima belas menit diawal jam pelajaran adalah saat dimana anak didik saya memperlihatkan kemurungan dan kegelisahan, gerakan literasi yang diamanatkan oleh pusat menjadi sebab mereka enggan menjalaninya. Pasalnya buku-buku yang ada hanya sekedar buku sejumlah siswa. Itupun dengan kualitas bacaan yang saya rasa tidak sesuai dengan usia mereka. Hari ini dapat buku A misalnya, baru 5 halaman dibaca, besoknya tidak menjamin siswa dapat buku itu lagi. Padahal membaca buku cerita atau pengetahuan apapun harusnya ya bersambung.

Sebagai bangsa yang besar Indonesia harus mampu mengembangkan budaya literasi untuk prasyarat kecakapan hidup abad 21. Keadaan sekolah yang terseok-seok mengutamakan hal yang lebih penting dan mendesak, berakibat mengesampingkan buku-buku bermutu (menurut saya??) untuk bacaan siswanya. Saya sejak SMP sudah membaca buku karya angkatan 45, angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, kecintaan keluarga pada buku menurun ke anaknya, walaupun tidak semua anak menuruni minat baca yang tinggi dari orangtuanya. Ketika mengajar di SMA yang letaknya diatas gunung dengan semangat siswa yang yahhhhh begitulah.... satu hal yang saya sedih adalah ketiadaan buku-buku yang sudah saya baca sejak SMP. Tidak ada buku Robohnya Surau Kami, Salah Asuhan, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Tetralogi Bumi Manusia, Gadis Pantai, Layar Terkembang. Buku tersebut ada setelah didengungkan nafas gerakan literasi itupun dibeli dadakan dan belinya buku bajakan dengan kertas buram dan kualitas lem yang haduhhhhhh biyungggggg, namun saya memahami dengan keadaan sekolah yang serba minimalis dan diharuskan mak bedunduk menyediakan buku sejumlah siswa dan begitulah adanya, yang penting melaksanakan amanat dulu untuk program literasi.

Bukan Luluk namanya kalau gampang menyerah, menghadapi siswa yang minat membaca bukunya agak rendah, muncullah ide untuk memanfaatkan gadget mereka. Ditambah lagi ide dari teman guru Sosiologi dari Rembang yang saya tahu beliau tidak mau disebut namanya (takut tenar), literasi tidak hanya baca tulis. Manfaatkan media untuk mengajak siswa tetap menjalankan ritual suci literasi. Akhirnya setiap dini hari saya ngeprint artikel dari internet, untuk dibaca siswa? Tidak hanya dibaca tetapi didiskusikan. Misalnya pagi ini saya membagikan link untuk siswa agar membuka tirto.id, artikel  berjudul “Tradisi Chhaupadi: Saat Perempuan Haid Dianggap Membawa Sial” siswa yang tidak memiliki kuota bisa membaca bersama dengan teman. Sekitar 7 menit selesai, kami diskusi, waooowwwww ritual literasi yang awalnya hanya baca tulis kali ini saya berhasil mengajak mereka untuk sampai ke tahap analisis. Bertambah satu lagi keyakinan saya, batu permata ditemukan tidak langsung dalam bentuk permata, dia adalah bongkahan batu yang berwujud batu saja dan didalamnya terdapat batu mulia, butuh perajin yang handal untuk mengasah dan dengan ketrampilan sebegitu sabar, diamplas, digerus, dipahat, dikikir supaya jadilah batu mulia dengan harga mahal.

Literasi Numerasi, Literasi Sains, Literasi Digital, Literasi Budaya dan Kewargaan adalah alternatif membudayakan literasi selain literasi Baca dan Tulis. Sajikan tabel, grafik atau monografi desa masing-masing siswa, lihat jumlah penduduk dan tingkat pendidikan desa tersebut misalnya, 20% APBN untuk pendidikan, beasiswa ada dimana-mana, mengapa masih saja ada anak usia produktif yang tidak bisa sampai tahap wajib belajar 9 tahun, ayo diskusikan!!!! Sesekali selingi dengan literasi digital menonton youtube tentang kajian tertentu atau sesuaikan dengan mata pelajaran bapak ibu, masihkah ada yang mengeluh tidak punya buku bacaan untuk literasi?

Rona Pandan Laut


Pandan Laut merupakan tanaman endemik yang tumbuh disepanjang bibir pantai utara kawasan Rembang. Tanaman ini tumbuh subur dan lebat dihabibat pasir putih Rembang. Akar pandan mencengkeram dengan kuat, berdaun lebar, dan berbuah eksotis. Sungguh menarik tumbuhan yang satu ini,

Keindahan buah tanaman penjaga pantai ini dapat dilihat pada saat musim kemarau tiba, Masyarakat sekitar biasanya memanfaatkan buah pandan laut untuk obat sakit gigi. Ada juga dimanfaatkan untuk penghalau mahluk halus, Tak hanya akar dan buahnya, daun pandan juga manfaatkan untuk bahan tikar dan bahan tali-temali.

Jika Anda tertarik menikmati panorama pantai dengan eksotisme pandan laut, datang saja di sepanjang pantai Rembang, tepatnya di pantai desa Sumurtawang kecamtan Kragan kab Rembang.


Buah pandan laut 
Akar pandan laut penjaga pantai dari abrasi

Pohon pandan yang sedang berbuat lebat 

Buah pandan yang sudah matang

Menulis Itu Pengorbanan


Mengapa bangsa Indonesia masih kesulitan dalam mengembangkan budaya tulis menulis. Minimnya motivasi menulis ini dikarenakan memang bangsa ini tidak ada tradisi tulis yang kuat. Tradisi kita lebih banyak mengadopsi tradisi lisan. Seperti pola murid yang mengikuti apa yang diarahkan guru, hanya sebatas mendengarkan dan menghafal. Pengembangkan sistem pendidikan yang tidak dialogis, telah membangun pola minimnya penulisan buku teks di banyak perguruan tinggi saat ini. Jika ingin menulis, jangan royalti yang didahulukan, idealisme harusnya. Karena menulis itu adalah pengorbanan.
(Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin)

Itulah pandangan Antropolog Senior dari Universitas Indonesia, dalam percakapan singkat, sebelum acara Lokakarya Penulisan Buku Teks Berstandar Nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan yang dibentengi Drs. Moh. Solekhatul Mustofa, M.A, pada hari Rabu, 21 Mei 2008, di Gedung C7 lantai 3 Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Tidak lama kemudian, sebagai pewara lokakarya, ibu Nurul fatimah, S.Pd (ketua IKASOSANT yang baru saja melangsungkan pernikahannya dengan pegawai TU Unnes) membuka acara ini. Dalam sambutan ketua panitia lokakarya, Drs. Totok Rochana, M.A mengatakan tujuan kegiatan ini tidak lain adalah ingin menulis buku teks yang nantinya dikenakan untuk bahan referensi. Kiat-kiat khusus, pengalaman dan kendala-kendala dalam menulis buku teks, diharapkan dipaparkan oleh para pembicara Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin (UI) dan Prof. Dr. Rustono, M.Hum (UNNES) agar pasca semiloka, banyak peserta menulis buku teks. Kegiatan ini diikuti oleh para guru (SD sampai SMA, dan MI sampai MA), lingkungan PT (Unnes, Universitas Pasundan, UNS, dan Undip), para mahasiswa dan alumni mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS UNNES. Banyak peserta yang ikut, tidak dapat datang mulai awal, karena ada ujian nasional, ungkap ketua panitia.

Lokakarya penulisan buku teks ini dibuka oleh Prof. Dr. Fatkhurrohman, M. Hum (Purek IV sebagai perwakilan Bapak Rektor UNNES) dan dihadiri Dekan FIS, beserta tamu pejabat sruktural UNNES. Ketidak-hadiran Rektor UNNES dalam acara ini, dikarenakan Rektor UNNES sedang menyambut kunjungan dari salah satu Calon Gubernur Jawa Tengah. UNNES akan memberi saran untuk pembangunan daerah di Jawa Tengah, dengan membuka ruang sebagai tempat kunjungan Calon Pilgub Jawa Tengah, imbuh mantan Ketua Lemlit UNNES, seiring acara penyambutan Rektor kepada Cagub tersebut. Sehubungan dengan acara lokakarya ini, Guru Besar Sosiolinguistik ini mengatakan, kegiatan ini sangat berarti. Perguruan tinggi dipandang prestisius, jika mutu selalu ditingkatkan dan jumlah mahasiswa yang dibatasi. Terlebih buku teks, yang nantinya akan mendongkrak perguruan tinggi, untuk menjadi bahan kuliah, bahan rujukan di tingkat internasional, dan membangun jaringan antara; guru, dosen, diknas.

Jeda sejenak dengan coffe break dan pameran karya-karya para mahasiswa dan dosen serta diiringi pemutaran film dokumenter sebagai ikon laboratorium studi sosial di Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS UNNES ini, dilanjutkan dengan penyajian materi I (Tema dan Pengembangan Materi dalam Penulisan Buku Teks) oleh Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin) dengan dimoderatori oleh Dr. Tri Marheni (dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi dan juga sebagai ahli kajian wanita Jawa Tengah).

Saya tahu bapak ibu guru saat ini baru jatuh bangun mengajar di negeri mimpi. Di negeri mimpi, ada guru yang menjadi buser, tapi disini tidak, tapi di negeri sana, banyak sekali guru yang beralih profesi menjadi buser, buruh sertifikat. Itulah prawacana yang dilontarkan moderator, dalam mengantar pembicara pertama ini.

Saya terkesan ungkapan bu heni, bahwa saat ini kita hidup di negeri mimpi. Kita akan menulis ide untuk di tulis, tapi sangat sulit. Sarat pertama untuk menjadi penulis itu adalah suatu motivasi yang besar. Yang kita tanamkan kita adalah semacam idealisme. Karena tidak ada itu, mungkin buku itu tidak akan selesai. Menulis itu akan menjadi gampang, kita akan menikmati idealisme, jika tidak menulis, terasa sakit. Pada kesempatan ini, pemateri menyuguhkan tiga bahan kepada peserta semiloka ini yaitu; penulisan ilmiah sosial, isu-isu masa kini dan masa mendatang, dan penulisan ilmuah sosial, ungkap pemateri dalam menyambung kata pembuka moderator.

(Di bawah ini merupakan notulensi paparan Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin)

Di negara-negara maju ada ungkapan, “menulis sesuatu, atau sama sekali tidak”. Dalam negara maju, perguruan tinggi, para dosennya di dinilai tulisannya, kemudian mendapatkan kredit point. Jika menulis kontraknya akan panjang, jika tidak, ya di sudahi.

Saya tidak  tahu, apakah kita dapat menerima ungkapan di atas, sejak di angkat PNS, ya seperti ini saja.

Dalam menulis, salah satu yang menjadi kendala, yaitu rasa kuatir. Menurut pembimbing saya saat S3, kalau kamu mau menulis, nulis saja. Ketika saya menulis, 50% persen setuju sama saya, dan 50% tidak suka dengan tulisan saya. Jadi kita siap-siap, dari 50% akan mengecam kita.

Dalam menulis, kita jangan memerankan ketiga-tiganya, menjadi terdakwa, hakim dan jaksa. Maksudnya, ya penulis, ya penilai, ya pembaca, itu ngak boleh. Biarin aja, wong kita ini menusia ngak sempurna. Semua tulisan pasti ada kelemannya.

Kita perlu menyamakan persepsi tentang bagaimana menulis buku teks. Apa saja perbedaannya, apa kesamannya. Menulis buku teks itu kan menulis buku untuk acuan. Sehingga harus memberikan informasi, cukup legkap tentang kondisi ilmiah disipin keilmuan. Misalnya sosiologi, ya harus memberikan gambaran kondisi sejak dulu dari disipilin sosiologi hingga kini. Tentu kebutuhan itu akan berbeda, buku teks untuk SMA dan S1, pasca srjana, sangat berbeda. Membicarakan buku teks, ya menggambarkan buku secara umum. Buku yang khusus, tidak termasuk buku teks. Buku teks memberikan informasi dasar yang sifatnya umum, tapi menggambar kondisi umum dari ilmu hingga saat ini. Buku teks mampu memberikan informasi umum.

Misalnya kita membicarakan tentang kapitalisme ekonomi pasar johar. Acuan itu adalah; apa sih ekonomi pasar, apa sih pedagang kali lima, apa sih pengertian tentang kapitalisme.  Sumber konsep di atas, biasanya di dapatkan buku teks.

Setiap penulis buku teks, selalu ada kerangka berfikir. Setiap menulis harus menggunakan/mengacu pada paradigma tertentu. Ini kembali cerita tentang empat orang buta yang memegang gajah. Orang buta satu, pegang belalai, kemudian mengatakaan gajah itu seperti ular piton. Orang buta kedua memegang  kaki, dia mengatakan gajah itu seperti pohon. Orang buta ketiga memegang kuping, dan mengatkaan gajah itu seperti daun. Orang buta keempat memegang  ekor gajah, dan mengakatan gajah itu seperti pecut. Itulah yang dinamakan poros paradigma.

Bagi orang yang berfikir denan paradigma struktural fungsionalis, cerita tentang peranan, status, menjadi penting. Isu hak dan kuajiban menjadi dominan. Sehingga buku teks itu akan diwarnai dari warna paradigma itu sendiri. Paradigma itu akan mencerminkan penulisnya. Sama-sama mengkaji tema yang sama, boleh jadi pandangannya beda.

Kita harus konsisten dengan cara berfikir. Jika sturktural fungsionalis, ya a sampai z, harus diwarnai dengan paradigma itu. Kalau paradigma penulisan itu dipengaruhi kuat dengan material kebudayaan, maka warna tulisannya adalah material kebudayaan. Warna marksis, selalu dinamis dan ngomong tentang perubahan.

Itulah yang dinamakan tentang state of the art.

Misalnya, kita menulis pada tahun 2008, pustakanya hanya tahun 80an, jadi belum memenuhi tentang sistematika dengan aturan-aturan yang ketat. Pada saat ini kita dapat dounlowd artikel terbaru dari internaet. Untuk artikl baru memang harus beli, tapi yang lama, free. Kita harus selalu pantau perkembangan ilmu dengan baik. Kebetulan saat saya menulis hand out, saya sering lari pada dua model, yaitu gaya penulisan model buku teks dan jurnal. Buku teks juga memiliki neraca, teetap neraca pada jurnal lebih besar. Tugas paling berat saat menulis buku teks adalah membaca, ketika kita belum memiliki budaya membaca, agak repot. Pada saat kita sudah memiliki budaya tentang membaca, maka suatu kuajiban.

Seperti buku saya, Antropologi Kontemporer, daftar bacaan itu ada 400 judul yang terdiri dari buku, artikel, dan jurnal. Jadi membaca buku dulu, sehingga kita baru menulis. Yang menarik sekarang pada saat ini, murit, siswa dan mahasiswa, ada penugasan paper. Anak-anak SD tertentu, itu sudah ditugaskan menuliskan sesuatu. Setiap hari Rabu, ditugaskan apa saja untuk menulis sesuatu, kemudian dipaparkan di depan. Tujuannaya adalah menuangkan pikiran dan apa yang dilakukan sehari-hari, untuk di tulis. Ini sebagai basis terbaik untuk jangka panjang, agar generasi ini menjadi penulis.

Memantau perkembangan ilmu, memang harus membaca. Untuk membaca, kita sulit, karena perpustakaan kita masih jelek. Buku-buku terbaru jarang.

Kalau saya disuruh memilih projek dengan ratusan juta, dan menulis buku tiga juta, saya jelas akan pilih yang besar. Itu kan kenyataannya.

Dalam menulis buku teks, kita perlu memaparkan peta pemikiran dari banyak penulis. Ini pekerjaan berat sekali. Saya menulis buku antropolgi kontemporer, lebih dari dua tahun, itu pun masih banyak kesalahan. Itu memang tidak masalah, harus kita hadapi.

Saya agak melompat

Dunia pada saat ini memang semakin praktis. Buku teks yang berhubungan dengan kondisi keilmuan terkini, dan dialog teori dan realitas empirik, dengan bolak-balik. Banyak orang mengatakan bahwa dunia saat ini ke praktikal. Kalau dunia empirik itu telah menggambarkan praktikal, maka teori-teori yang tumbuh ya yang berhubungan dengan praktikal.

Kita kadang tidak pernah menemukan nama-nama baru dalam buku teks seperti di ilmu Antropologi dahulu. Tetapi pada saat ini, banyak yang bermunculan. Saat ini dunia pada fase praktikal. Maka yang muncul teori yaitu tentang tindakan, strutural, akses, jaringan, akan lebih muncul. Sehingga muncul nama-nama baru yang dulu tidak muncul. Jadi keadaan empirik berhubungan erat dengan teoritikal. Tuntutan ini sangat ideal, sangat tinggi.

Kita tinggalkan sebentar dari hand out ini, karena saya menyesuaikan waktu.

Pada hand out yang kedua saya itu, mencoba memikirkan dan memetakan tentang isu-isu terkini. Ini terkait sebenarnya dengan pembicaraan yang terakhir. Saya katakan, dunia kita tampaknya bergesar dari idealime ke praktisme. Dari idealisme ke aktualisme. Dari nilai-nilai ke praktek.  Itu petanya. Kalau kita memetakan kondisi dan kecenderungan-kecendeungan pada saat ini. Kita mengalami perubahan dari lokal ke perubahan global.

Posisi orang sudah bergesar, dari sudut Sosiologi dan Antropologi. Pada saat dulu, posisi manusia seperti objek, manusia itu menjadi objek, pendekatan itu objek. Tapi untuk masa kini, posisi manusia itu telah menjadi subjek. Seperti halnya emik, mengetahui dulu tentnag apa yang terbangun dalam dan terpikirkan oleh masyarakat. Bukan memberikan pemikiran dulu, pada saat menulis.

Sampai saat ini, paradigma struktural fungsionalis lebih dominan di dunia akademik. Dapat dilihat pada praktek penulisan tugas akhir mahasiswa. Dengan memilih teori dulu sebelum meneliti. Tapi pada paradigma konstruktivisme, tidak demikian.

Jika kita tidak jeli, barang kali buku teks yang kita tulis akan kembali ke masa lampau.

Saya mencoba menggambarkan isu masa kini dan masa mendatang. Ada isu teoritis dan isu praktis. Isu teoritis ada sepuluh, akan dan sedang kita hadapi. Pertama, Nasionalisme: Ideologi, negara bangsa, dan perubahan. Kita di tuntut nasionalis, katanya nasionalisme meluntur, anak muda luntur. Membaca dalam antropologi, ya membaca tentang teori yang relevan tentang nasionalisme. Mungkin ratusan tulisan tentang nasionalisme, kenapa nasionalisme itu penting untuk Indonesia, karena Indonesia masyarakat majmuk, yang terasa sulit untuk mengembangkan nasionaleme. Pada jaman dulu, nasionalieme masih sturktural, sentralistik. Apalagi yang kelihatannya yang potensial untuk Indonesia. Kedua, Kebudayaan nasional: lokal, regional, global. Pada saat dulu kebudayaan nasional itu adalah puncak-puncak kebudayaa daerah. Ketiga, Identitas nasional dan representasi. Pada era otonomi, orang yang tidak tahu dari mana orang itu. Seperti isu putra daerah, saat menjelang pilkada. Keempat, Globalisasi dan produksi kebudayaan. (pada saat pemateri menguraikan isu-isu penting dalam penulisan buku teks, da salah satu peserta yang pingsan. Dengan suasana tersebut, pemateri agak menyingkat uraikan isu-isu penting dalam buku teks era mendatang). Kelima, Relativisme kebudayaan dan plualisme. NKRI adalah final, namun seperti apa kita melakukan pengelolaannya. Keenam, Agama, perubahan, dan adaptasi. Ketujuh, Turisme dan komoditifikasi kebudayan. Seperti di Papua, kalau turis datang, mereka ganti baju, tapi ternyata hanya peragaan saja.  Lha ini namanya komoditi kebudayaan. Kedelapan, Pluraliems dan multikultualisme. Kesembilan, Konflik dan resistensi. James Scott pernah mengatakan, masyarakat-masyarakat seperti di Malaysia, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, hiddens transkip banyak sekali. Artinya bangsa tersebut biasa menyembunyikan sesuatu. Di depan kita beda, di belakang kita beda lagi. Sehingga banyak gosip, surat kaleng, vitnah, dan lain-lain akan berkembang di bangsa ini. Kesepuluh, Jender dan kebudayaan. katakanlah suami istri sudah lulusan Unnes, pergi kondangan, sampai digerbang itu, yang laki di sambu tlaki, dan yang perempuan di sambut perempuan. Kemudian keduanya dipersilahkan untuk duduk di depan, eh, ternyata yang permepuan malu dan mundur ke bekalang. Jadi kesetaraan itu ada di kebudyanan dan anti kebudayaan itu juga ada di dalam kebudayaan.

Selain isu teoritis, aspek praktis dalam isu-isu masa kini diantaranya; pemberdayaan masyaakarat, hak-hak minoritas, civil society, good governance dan lokal governance, modal sosial, partisipasi masyarakat, advokasi masyarakat, pluralisme dan pluralitas hukum, kemiskinan-keterbelakangan-marginalisasi, dan resolusi konflik.

Itu dulu, selnjutnya saya serahkan kembali pada kawan-kawan. Terima kasih, wassalamu alaikum warohmatullhi wabarokatuh.

(Selanjutnya moderator melanjutkan sesi tanya jawab)

Silahkan mana yang bertanya. (moderator)

Saya Bambang pringgodigda, dari SMA Kstatrian II. Saya datang disini untuk mengetahui bagaimana menulis buku teks. Saya juga ditugasi nulis MGMP, untuk menulis LKS. Saya harus bagaimana? Terus saya juga menulis buku teks. Tapi saya tidak dapat mengembangkan buku teks dengan bebas, dengan adanya SKL. Ada agak benturan, antara idealisme dan tuntutan generalitas pemerintah. Saya pingin menulis di mass madia, namun sampai saat ini saya juga belum bisa menulis di mass media. (penanya)

Saya Sulistianto, dari IKIP Veteran Semarang. Saya ingin bertanya, dalam meyususn buku teks, dengan menggunakan paradigma, apakah perlu menggunakan banyak paradigma? (penanya)

Saya Indah Wahyudingsih, PJP, Unnes. Apa bedanya buku teks dan buku teks ilmiah. Saya pingin menulis buku ilmiah, saya pingin memperbaiki buku teks saya, tatapi yang ilmiah. Saya dari teknik bidang busana. Kalau buku ilmiah, khususnya di tujukan di pembaca umum, apakah ditujukan pada umum ataukah pada latar belakang penulis, jadi bagaimana, gimana. Saya tidak percaya diri. Saya agak takut juga. (penanya)

Saya Suyanto, dari UNS solo. Ada yang menulis dengan paradigma tunggal dan ganda. Seandainya buku sosoiologi keluaga, apakah dianggap terlalu bertele-tele atau bagaimana. Kalau dengan paradigma tunggal, bagaimana dengan melihat dari sisi-sisi lain. Banyak sekali ragam buku teks, banyak bedanya. Murid itu malah jadi membingungkan. (penanya)

Yushi, dari SMA Kristen Semarang. Saya tertarik dengan acar ini, dan sekaligus prihatin dengan tangisan, karena kawan-kawan saya menulis buku sejarah, harus di kansel karena ditarik MA, dan itupun belum bayaran. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kasus penarikan buku sejarah yang saya tulis itu? (penanya)

Saya daru Pasundan Bandung, dan sedang S2 Pendidikan Seni Unnes. Bagaimana memasukkan unsur paradigma lain, selain unsur fotografi, saya juga memasukkan  etnografi,  tapi saya malah semakin bingung. Kemudian saya harus bagaimana. Saat ini saya sedang semangat-semangatnya menulis tugas akhir. (penanya)

Banyak sekali pertanyaan yang disampaikan. Saya hanya akan mengawal saja, silahkan pak Saefusin. (moderator)

Ini pertanyaan bagus, saya akan menjawab secara kategoris, melihat waktu yang ada.

Apakah paradigma itu di bisa gabung-gabung, mungkin banyak paradigma yang untuk menjawab satu persoalan. Manusia iatu pada dasarnya terbaras, jadi terbatas pula dalam menanggapi persoalan. Saya tidak bisa melihat ke kiri, ketika saya melihat ke depan. Karena saya akan kehilangan sesuatu yang di depan itu. Dalam menulis, kita pasti ada kelemahannya. Sama saja dengan paradigma kualitatidf dan kuantitatif, pada substansinya tidak bisa. Setiap paradigma akan ditanggapi dengan porsi-nya dengan paradigma lain.

Ada tingkat kesulitan yang berbeda-beda para tulisan itu.

Dalam hal penggunaan bahasa, kita perlu menyederhanakan bahasa. Konsep teoritis dan paradigmatis, perlu disederhanakan.

Setiap penulis, harus jelas dalam memulai start tertentu kemana arah tulisannya. Tapi kita ngak usah ragu. Kita guru ya nulis untuk siswa, kita dosen ya nulis untuk mahasiswa.

Ada dua tren paradigma yang saat ini sedang besar, structuralisme  dan konstruktivisme. Dalam paradigma strukturalis, pada saat menulis, misalnya PKI  di pandangan bersalah. Dengan pendekatan etik, dimana sumber penulisan yang diadopsi dari orang-orang tertentu saja dalam masyarakat. Kemudian dengan pendekatan emik. Dengan paradigma konstruktivistik, semua di serahkan di masyarakat, semua berhak komentar.

Saya kebetulen dalam setiap menulis selalu bervariasi. Untuk menulis kompas ya dengan gaya kompas, untuk makalah ya menulis dengan gaya makalah, dan untuk buku teks berbeda dengan gaya nulis di kompas dan makalah.

Dalam penulisan, basis penelitian itu sangat penting sekali. Teori itu dibangun dari empirikal. Mungkin penelitian laboratorium, kepustakaan, itu tidak masalah, karena saya dari antropologi, jadi ya dari penelitian lapangan. Saya kira itu. Terima kasih.

Saya kira masih belum puas dari jawaban yang disampaikan, namun peserta nanti dapat berhubungan lagi dengan pak saefudin. Ok, kita lanjutkan sesi penanya ke dua, silahkah mas suhadi dan mbak fia, ini alumni Sosiologi dan Antropologi. Kedua-duanya adalah fans berat saya. Ha.. ha.. ha....  (moderator)

Saya Suhadi. Banyak memang kebingungan pada hari ini bagi saya. Seperti pedagang cina yang handal di kancah perdagangan asia tenggara, mereka tidak ingin ada orang luar mengetahui dibalik kesuksesan dagangnya. Saya menggunakan analok tersebut. Dari banyak buku yang pak saefudin hasilkan, sebenarnya ada apa di balik itu. Termasuk manivestasi nilai masa kecil di keluarga. (penanya)

Saya Fia, yang ingin saya tanyakan adalah kenapa para akademisi di Indonesia selalu menggunakan rujukan buku dari luar. (penanya)

Jika di jawab, bisa menghabiskan waktu tiga hari, silahkan pak saefudin. (moderator)

Pertanyaan ini agak pribadi ya.

Ayah saya guru mohammadiyah. Di kampung, beliau senang sekali membaca, karena tidak ada tivi dan radio. Yang di otak-atik ya buku. Kemudian pola itu secara tidak langusung terpola pada diri saya. Saya sendiri koleksi perpustakaan sendiri. Silahkan datang ke rumah saya, silahkan minta alamat bu heni. Dan anak-anak saya kayaknya mengikuti untuk menulis. Keasyikan menulis juga akan mendapatkan royalti. Untuk royalti, misalnya enam bulan dapat tiga juta, mungkin tidak ada projek. Makanya Hanya menulis saja.

Selanjutnya, memang sebagian besar buku yang dikatakan memberikan informasi dan buku pelengkap, tentang state of the art, sayangnya masih ada di luar. Jadi apa boleh buat. Dengan internet, kita bisa akses. Mudah-mudahan pada masa yang akan datang, kita yang menjadi tuan rumah sendiri, kita akan menciptakan dan menulis buku dan menjadi rujukan. Kita sering hanya memberi informasi saja, setelah pulang, mereka menulis dan menjadi rujukan kita. Kenapa kita tidak.

Saya tidak usah menyimpulkan dari apa yang telah diuraikan pak Saefudin, semoga bermanfaat. Saya serahkan semua pada kawan-kawan. Terima kasih. Wassalamu alaikum warohmatullhi wabarokatuh. Saya kembalikan kembali pada mbak Nurul. (moderator)


Start Work With Me

Contact Us
JOHN DOE
+123-456-789
Melbourne, Australia